Pertanyaan:
Saat kita beli cat rumah, terkadang kita jumpai terdapat uang dua puluh ribu atau lebih yang diberikan oleh produsen cat tersebut kepada pembeli. Bolehkan hadiah uang semacam ini menurut syariat Islam?
Jawaban:
Hukum permasalahan ini diperselisihkan oleh para ulama fikih. Ada dua pendapat dalam hal ini:
Pendapat pertama mengharamkannya, karena menilai bahwa hal ini termasuk dalam transaksi yang disebut oleh para ulama masa silam dengan sebutan ‘muddu ajwah wa dirham’. Itulah transaksi tukar-menukar satu jenis komoditi ribawi dengan sesama jenisnya, namun pada salah satu benda komodiri ribawi terdapat benda tambahan bukan ribawi.
Contohnya kurma dibarter dengan kurma, namun pada kurma kedua terdapat tambahan berupa uang. Kurma dibarter dengan kurma adalah barter komoditi ribawi dengan komoditi ribawi sejenis, pada salah satu dari keduanya dalam hal ini kurma kedua terdapat benda tambahan yang tidak sejenis dengan komoditi ribawi yang dibarterkan. Dalam hal ini tambahan tersebut adalah uang. Inilah kasus yang oleh para ulama terdahulu disebut ‘Maddu ajwah wa dirham’.
Dasar hukum dalam hal ini adalah hadis dari Fadhalah bin Ubaid tatkala perang Khaibar. Beliau membeli kalung emas yang mengandung merjan dengan uang dinar yang terbuat dari emas. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda mengomentari kasus ini,
لاَ تُبَاعُ حَتَّى تُفَصَّلَ
“Kalung semacam itu tidak boleh dijual sampai bagian yang bukan emas dipisahkan dari emasnya.” (HR. Muslim no.4160).
Saat emas ditukar dengan emas, timbangan keduanya harus sama, meskipun kualitas karatnya berbeda dan pada salah satu emas tersebut tidak boleh ada tambahan meski tambahan tersebut berasal dari selain emas. Jika tambahannya berupa emas terjadilah riba fadhl. Sedangkan jika tambahannya itu bukan emas tetap haram karena hal ini adalah sarana menuju riba fadhl.
Dalam kasus pembelian cat di atas terjadi uang milik pembeli cat ditukar dengan uang yang terdapat dalam kaleng cat dan terdapat tambahan yaitu cat dan kalengnya. Rupiah yang ada di tangan pembeli adalah komoditi riba. Rupiah yang ada dalam kaleng cat juga komoditi. Sehingga jelaslah dalam kasus di atas terjadi tukar menukar komoditi ribawi dan pada salah satunya terdapat benda tambahan yang tidak sejenis dengan komoditi ribawi yang dibarterkan.
Pendapat kedua merinci hukum kasus ini dengan melihat nilai uang yang ada dalam kaleng cat. Jika nilainya remeh atau sedikit menurut ‘urf (penilaian umumnya masyarakat), maka hukumnya adalah tidak mengapa. Misalkan hadiah uang yang ada di dalam kaleng cat itu cuma seribu rupiah atau lima ratus rupiah, sedangkan cat plus kalengnya harganya seratus ribu. Dalam kasus ini hadiah uang sebesar seribu rupiah tidak akan menjadi target dan harapan pembeli sehingga secara real transaksi yang terjadi adalah tukar-menukar uang dari pembeli dan cat rumah dari penjual. Sedangkan hadiah uang yang terdapat dalam kaleng cat sekedar tambahan yang tidak dimaksudkan dalam transaksi tersebut. Alasannya, para ulama terdahulu juga memberikan toleransi untuk tambahan yang remeh dalam transaksi ‘mudd ajwah wa dirham’.
Namun jika uang hadiah yang ada dalam kaleng cat tersebut nilainya cukup besar, maka hal ini tidak diperbolehkan karena keberadaan uang hadiah dalam kaleng cat tersebut dimaksudkan oleh pelaku transaksi, maka transaksi real yang terjadi adalah tukar-menukar uang rupiah dengan uang rupiah, dan pada salah satu uang rupiah terdapat tambahan berupa cat rumah sehingga hal ini terlarang karena tergolong kasus ‘mudd ajwah wa dirham’.
Kesimpulan:
Pendapat yang paling kuat adalah pendapat kedua yang memberi rincian besaran nilai uang yang menjadi hadiah. (Diolah dari Al Muamalah al Maliah al Muashirah, Hal. 37)
Artikel www.PengusahaMuslim.com